DEMONSTRASI≠HOOLIGANISME

DEMONSTRASI≠HOOLIGANISME

Oleh:Ria Casmi Arrsa

”Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan.”(Khalifah Umar bin Khatthab)

 

Sejak bergulirnya gerakan reformasi yang di motori oleh mahasiswa pada tahun 1998 sampai saat ini baik di media cetak maupun elektronik telah mengekspose pemberitaan seputar demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tindakan kekerasan, kericuhan, maupun bentrokan fisik antara aparat Kepolisian dengan para demonstran. Realita ini memang tidak bisa dipungkiri mengingat bahwa hampir setiap perjalanan rezim yang berkuasa di negeri ini selalu diikuti dengan berbagai bentuk gerakan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan moral intelektual sekaligus kontrol sosial (Social control) terhadap Pemerintah selaku pemegang otoritas kebijakan (policy).

Pada segemen ini menunjukkan bahwa, mahasiswa memiliki peran penting dan strategis mengingat bahwa kritik merupakan bagian dari pelaksanaan demokrasi, meniadakan kritik dengan sendirinya akan memberangus penegakan demokrasi di Indonesia. Ketika penyelenggaraan negara tidak lagi melandaskan pada koridor konsep demokrasi maka akan berujung pada otoritarianisme dan totalitas penguasa yang akan menindas hak-hak konstitusional warga negara. Perilaku yang demikian dengan sendirinya akan menimbulkan kesewenang-wenangan maupun perilaku korup sebagaimana diutarakan oleh Lord Acton bahwa, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (yang artinya kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan akan semakin disalahgunakan apabila tidak dibatasi).

Pelaksanaan demonstrasi sendiri merupakan bentuk menyatakan pendapat yang dijamin dalam konstitusi (UUD 1945). Sebagai anak kandung demokrasi ia sah dilakukan oleh siapa saja yang percaya dan menganut paham demokrasi sebagai jalan hidup dalam dinamika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu unjuk rasa atau demonstrasi (“demo”) lebih bersubstansikan pada sebuah gerakan massa dan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan khalayak. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan-kepentingan kelompok secara komunal dan secara bersama-sama (collective).

Sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dasar konstitusional kemerdekaan dan kebebasan menyatakan pendapat di negeri ini secara tegas termaktub di dalam ketentuan pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi,“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Oleh sebab itu praktek demonstrasi sebagai pilar pelaksanaan dan penegakan demokrasi tidak akan pernah lekang dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Berpangkal pada paradigma tersebut mahasiswa sebagai insan intelektual sudah saatnya secara bersama-sama menghayati dan memahami perjalanan gerakan mahasiswa sejak berdirinya Negeri ini sampai pada realitas pelaksanaannya sampai saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa, sebuah cita-cita dan usaha mewujudkan terbentuknya Negara bangsa pernah dirintis oleh para pendahulu kita melalui momen dan gerakan “Manifesto Politik” (1925), Sumpah Pemuda (1928) dan puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Ernest Renan melalui kuliah umumnya berjudul “Qu’est ce qu’unnation (apakah bangsa itu) di Universitas Sorbonne Paris tahun 1882 mengutarakan bahwa bangsa itu tidak dapat disamakan kesatuan manusia yang didasarkan atas kesamaan ras, bahasa dan agama. Sebab terbukti di Perancis meskipun masyarakatnya multi etnis, ras, dan agama mereka tetap satu bangsa. Dengan demikian Ernest Renan menyimpulkan bahwa bangsa merupakan suatu kesatuan solidaritas, suatu jiwa, dan suatu asas spiritual.

Bangsa lahir dan terbentuk, karena diantara manusia-manusia itu memiliki rasa solidaritas dan toleransi yang tinggi diantara mereka, Solidaritas yang lebih besar tercipta oleh perasan pengorbanan yang telah diperbuat pada masa lampau. Kemudian mereka mendesain bersama untuk hidup bersama yang damai di masa depan. Berpangkal pada pandangan tersebut menjadi sebuah keniscayaan bahwa kelahiran bangsa Indonesia merupakan potret bangsa yang majemuk, multi etnik dan multi kultural yang dibangun tidak hanya bersendikan pada akar kemajemukan yang telah menjadi ciri khas akan tetapi juga dilatarbelakangi oleh semangat solidaritas dan rasa memiliki (Sense of belonging) diantara para pejuang kemerdekaan dan tokoh-tokoh bangsa untuk mendirikan sebuah bangunan Negara yang kekal dan abadi.

Berapangkal pada realitas tersebut sebagai manifestasi gerakan yang mengatasnamakan perjuangan rakyat demi bangsa dan negara nampaknya paradigma sebagaimana telah diuraikan mulai terkikis dari setiap sendi-sendi platform gerakan mahasiswa yang terbangun pada saat ini. Potret gerakan massa untuk turun kejalan justru sering diikuti dengan tindakan-tindakan anarkisme, perusakan, pemblokiran jalan, bentrokan secara fisik maupun psikologis dan berbagai aktivitas vandalis lainnya yang semakin merebak akibat provokasi-provokasi dari oknum yang sengaja mencari kesempatan untuk menstigmakan negatif terhadap pola pergerakan mahasiswa. Sementara itu mantan aktivis gerakan mahasiswa Budiman Sudjatmiko, mengutarakan bahwa, menyurutnya peran sentral mahasiswa karena saat ini saluran demokrasi telah berjalan. Partai politik, media massa, dan organisasi masyarakat sipil juga melakukan peran yang dulu dilakukan mahasiswa, yaitu melakukan riset, menganalisis situasi, tinggal bersama masyarakat yang dibela, dan menyusun pengetahuan itu sebagai agenda aksi.

Kini, informasi mudah didapat melalui media, sementara dulu harus dicari melalui penelitian dan bahkan tinggal bersama masyarakat, seperti buruh, petani, dan nelayan. Hal ini patut dijadikan pelajaran yang berharga mengingat bahwa platform gerakan yang dibangun oleh mahasiswa merupakan gerakan moral intelektual bukan semata-mata gerakan yang ditunggangi oleh tendensi kepentingan politis. Kendati demikian perlu kiranya dibedakan juga makna secara substansial antara demonstrasi dengan praktek Hooliganisme. Hooligan, sebagaimana dikemukakan oleh Jonathan Crowther dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 1995 memiliki makna sebagai, ”Seorang sosok pemuda yang melakukan kekerasan dan membuat keributan dalam wilayah-wilayah publik, biasanya dijalankan dengan sekelompok orang.” Bagi kalangan penganut Marxisme, hooligan merupakan sekelompok masyarakat yang mengalami keterpinggiran dalam struktur sosial. Mereka adalah sekumpulan individu yang dicengkeram kemiskinan secara material, sehingga membentuk suatu kelas sosial secara spesifik yang mudah dibedakan dari individu-individu yang mendiami kelas sosial yang mapan. Jika mereka yang terpinggirkan ini melakukan kerusuhan, atau setidaknya menciptakan kegaduhan, tidak lebih merupakan ekspresi atau luapan kemarahan yang selama ini sulit untuk menemukan kanal peletupnya. Berpangkal pada realita tersebut sudah selayaknya dipahami bahwa, paradigma gerakan mahasiswa melalui demonstrasi perlu adanya sebuah sinergitas antara totalitas massa dan hakikat dari sebuah perjuangan untuk menyerukan kebenaran dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas. Ihwal tersebut dapat terwujud secara sinergis antara mahasiswa dengan komponen masyarakat jika terdapat sebuah platform dan orientasi terhadap tujuan yang dicita-citakan.

Dewasa ini semangat gerakan mahasiswa membutuhkan konsepsi untuk memahami akar-akar permasalahan bangsa dan menyerukan kebenaran sebagai bentuk tanggung jawab kaum intelegensia. Dalam kenyataanya sejak bergulirnya agenda reformasi pada tahun 1998 praktek penyelenggaraan Pemerintahan justru semakin mendekatkan para teknokrat di negeri ini pada celah-celah korupsi maupun konflik politik yang semakin menciptakan kesenjangan bagi terwujudnya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi segenap rakyat. Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia merupakan aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. “The founding leaders” Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Sebagai generasi penerus bangsa berawal dari kesadaran yang menjadi bagian integral dalam diri pemuda bahwa pemuda merupakan insan pembaharu (Human transformers) sekaligus sebagai insan berkepedulian (Human concern) yang selalu mencoba menjadi dinamisator pada Republik tercinta ini. Dalam konteks ini pula Ali Syariati menegaskan telah menjadi, sebuah konsekuensi dari pemikiran yang tercerahkan yang dengan penuh kesadaran untuk berusaha merubah tatanan yang menyimpang dari kemuliaan dan harkat manusia sebagai bagian integral dari totalitas generasi muda bangsa. Dengan demikian menjadi sebuah keniscayaan bahwa praktek demonstrasi merupakan gerakan yang membangun sebuah ikhtiar untuk menyampaikan kritik, aspirasi maupun protes terhadap penguasa yang memiliki orientasi kebangsaan untuk integritas bangsa dan negara bukan sebaliknya.

Dengan demikian ihwal perjuangan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan demonstrasi aecara riil akan menyerukan kebenaran sehingga out-put yang akan dihasilkan akan benar-benar mencerminkan perjuangan rakyat bukan perjuangan sektoral semata. Demikianlah hakikat sebuah perjuangan bahwa perubahan untuk menuju masyarakat yang adil dan sejahtera tidak akan terwujud hanya dengan satu atau dua kali goresan pengorbanan akan tetapi lebih pada gerakan yang konsisten, berkesinambungan dan berkelanjutan dalam memperjuangkan sebuah tatanan masyarakat yang dicita-citakan.

 

Nama               : Ria Casmi Arrsa

Email               : ppotoda@gmail.com

No HP             : 081334341666/www.ppotoda.org

Alamat                        : Jl. Kerto Asri 114 B Malang Jawa Timur

Status              : Peneliti Pada Pusat Pengembangan Otonomi Daerah dan                                         Demokrasi (PP OTODA) FH Universitas Brawijaya

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment